Selasa, 19 April 2011

GUGATAN PTUN

GUGATAN PTUN
Oleh :
Edi Pranoto, SH.M.Hum
( Dosen Bagian HAN FH UNTAG Semarang )


A.   Tenggang Waktu
Berbeda dengan peradilan umum, untuk mengajukan gugatan di lingkungan PTUN ditentukan tenggang waktunya yaitu hanya 90 ( Sembilan puluh ) hari ( vide : pasal 55 UU Nomor 5 Tahun 1986.
Waktu 90 ( Sembilan puluh ) hari dimuilai sejak diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara . Pembatasan ini dimaksudkan selain untuk memberikan kepastian hukum kepada individu ( penggugat ) maupun berkaitan dengan kepastian hukum dari keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha tersebut.
Batas waktu 90 ( Sembilan puluh ) hari mulai diperhitungkan adalah sejak :
1.    Diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan bagi pihak yang namanya tersebut ( pihak yang dirugikan langsung ) akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut ;
2.    Diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara, dalam hal ini Keputusan Tata Usaha Negara tersebut ditentukan oleh peraturan dasarnya harus diumumkannya. Atau secara kasuistis perhitungan akan dimulai sejak Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan diketahuinya, sedangkan yang merasa dirugikan bukan pihak yang namanya langsung ada dalam surat keputusan tersebut.
3.    Setelah tenggang waktu ( penerbitan keputusan ) sesuai peraturan dasarnya habis atau lewat waktu, dalam hal Keputusan Tata Usaha Negara  Fiktif Negatif sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) ;
4.    Setelah lewat waktu 4 ( empat ) bulan sejak diterimanya permohonan, dalam hal ini Keputusan Fikfif Negatif sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) ;
5.    Diterimanya keputusan yamg dibuat oleh Pejabat Administrasi dalam upaya administrative ;
Yang harus diperhatikan pula bahwa hitungan waktu 90 (Sembilan puluh ) hari adalah tanpa memperhatikan apakah hari libur atau hari kerja, yang jelas hari.

B.   Alasan Mengajukan Gugatan
Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9 Tahun 2004 disebutkan alasan untuk mengajukan gugatan adalah :
1.    Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ;
2.    Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan asas – asas umum pemerintahan yang baik.
Dalam Penjelasan Pasal 53 ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi : asas kepastian hukum ; asas tertib penyelenggaraan negara ; keterbukaan ; proporsionalitas ; profesionalitas dan akuntabilitas sebagaimana tersebut dalam UU Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam membuat keputusan dikatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan , jika keputusan yang diterbitkan tersebut :
a.    Bertentangan  dengan ketentuan – ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat procedural/ formal ;
b.    Bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/ subtansial ;
c.    Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang, dal hal ini keputusan tersebut dikeluarkan oleh :
·         Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang membuat keputusan tidak memiliki kewenangan ;
·         Badan Pejabat Tata Usaha Negara yang membuat keputusan melampaui kewenangan yang dimilikinya ;
·         Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara belum atau tidak berwenang lagi mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara ;
Yang harus diperhatikan pula walaupun gugatan yang dilakukan seseorang atau badan hukum perdata terhadap keputusan tata usaha Negara tidak menunda pelaksanaan keputusan tata usaha Negara yang digugat, namun berdasarkan Pasal 67 dimungkinkan penggugat dapat mengajukan penundaan pelaksanaan keputusan yang digugat terlebih dahulu. Dan terhadap permohonan tersebut ada 2 ( dua ) kemungkinan :
a.    Dapat dikabulkan , jika dinilai ada kerugian yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat dirugikan ; atau
b.    Ditolak , jika ada kepentingan umum dalam rangka pembangunan dan mengharuskan dilaksanakan keputusan tersebut ;

C.   Syarat – Syarat Surat Gugatan
Surat gugat harus memenuhi syarat :
1.    Syarat Materiil
Gugatan harus memuat posita ( dasar atau alasan- alasan gugatan ) dan petitum ( tuntutan baik pokok maupun tambahan ( ganti rugi dan/atau rehabilitasi ) ;

2.    Syarat Formil
Gugatan harus memuat nama , kewarganegaraan , tempat tinggal , pekerjaan penggugat maupun kuasanya dan nama jabatan dan tempat kedudukan tergugat.

Dalam Pasal 56 UU Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa :
a.    Gugatan harus memuat :
·         Nama ; kewarganegaraan ; tempat tinggal ; dan pekerjaan penggugat atau kuasanya ;
·         Nama jabatan ; dan tempat kedudukan tergugat ;
·         Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.

b.    Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa yang sah ;
c.    Gugatan sedapat mungkin disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan oleh Penggugat.

Minggu, 17 April 2011

KOMPETENSI PTUN


KOMPETENSI
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Oleh :
Edi Pranoto, SH.M.Hum
( Dosen Bagian HAN FH UNTAG Semarang )

Didalam pustaka hukum kompetensi peradilan  termauk Peradilan Tata Usaha Negara dibagi menjadi 2 ( dua ) macam yaitu :
A.     Kompetensi Absolute
yaitu kewenangan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu  dan secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan  lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku .
Dalam hal ini kompetensi absolute dari PTUN sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU No. 5/1986 adalah memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Keputusan tata usaha Negara yang dapat digugatkan di PTUN adalah sebagaimana yang tersebut dalam :
( Pasal 1 angka 3 + Pasal 3 ) – ( Pasal 2 + Pasal 49 )
Dengan dengan terhadap keputusan tata usaha Negara yang masuk dalam Pasal 2 UU 5/1986 termasuk perubahannya tidak dapat digugat di PTUN, demikian pula terhadap keputusan yang dikeluarkan sebagaimana tersebut dalam Pasal 49 pengadilan tidak berwenang untuk mengadili.
Pasal 2 UU 5/1986 dan perubahannya disebutkan bahwa tidak termasuk pengertian keputusan tata usaha Negara dalam undang-undang adalah :
a.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
Contoh :
Pemerintah melakukan jual beli , wanprestasi , gadai dll perbuatan yang didasarkan pada kaidah hukum perdata kalau ada sengketa PTUN tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus

b.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
Contoh :
PERDA tentang MIRAS , maka apabila ada pihak yang merasa dirugikan gugatannya tidak ke PTUN, terus kemana untuk menguji terhadap peraturan perundang-undangan :
·         Dibawah Undang- Undang, yang berwenang menguji adalah Mahkamah Agung.
·         Undang- Undang keatas, yang berwenang menguji adalah Mahkamah Konstitusi.

c.       Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. Jenis keputusan ini adalah keputusan yang belum final sehingga belum memiliki akibat hukum.
Contoh :
Keputusan Walikota Semarang tentang Pemberhentian SEKDA yang klausulnya bahwa “ keputusan ini akan berlaku sejak mendapat persetujuan dari Gubernur “, maka ketika keputusan tersebut belum mendapat persetujuan Gubernur maka keputusan itu belum mengikat, sehingga belum memiliki kekuatan hukum.

d.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan KUHAP ; KUHP dan peraturan lain yang bersifat hukum pidana.
Contoh :
Keputusan KAPOLRESTABES Semarang untuk menangkap si A karena diduga melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 284 KUHP, maka apabila si A merasa dirugikan upaya pencarian keadilannya bukan ke PTUN namun melalui lembaga pra peradilan di Peradilan Umum ;

e.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan  peraturan perundang-undangan yang berlaku.

f.        Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Negara Tentara Nasional Indonesia.

g.      Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik dipusat maupun di daerah , mengenai hasil pemilihan umum.

Sekali lagi PTUN tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa terhadap keputusan- keputusan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 diatas.

Dalam Pasal 49 disebutkan bahwa  pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a.      Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan Negara dan/atau kepentingan masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

B.      Kompetensi relative
yaitu kewenangan mengadili antar pengadilan dalam satu lingkungan peradilan.
Kewenangan tersebut terletak dipengadilan  manakah yang berwenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan  perkara tertentu. Sedangkan kompetensi relative Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 54 ayat 1 s/d 6 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan :
1.      Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
Contoh :
Bila Penggugat  beralamat di kota Surabaya, sedangkan Tergugat adalah Walikota Semarang , maka menurut ketentuan ayat ini gugatan diajukan di PTUN Semarang, karena Walikota Semarang berkedudukan di daerah hukum PTUN Semarang.

2.      Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara danberkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Contoh :
Bila Penggugat beralamat di Semarang, sedangkan yang digugat adalah Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang ( Tergugat I ) , Kakanwil BPN Provinsi Jawa Tengah ( Tergugat II ) ; Tergugat III ( Kepala BPN Pusat ) ; Tergugat IV ( Presiden ) , maka gugatann dapat diajukan di :
a.      PTUN Semarang , yang daerah hukumnya meliputi salah satu Tergugat , atau
b.      PTUN Jakarta , yang daerah hukumnya meliputi salah satu Tergugat.
Yang perlu diperhatikan dalam menentukan pengadilan yang akan mengadili adalah kedekatan dengan saksi maupun obyek yang disengketakan.

3.      Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada  dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan penggugat, untuk selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.
Contoh :
Penggugat kedudukannya didaerah hukum PTUN Makasar, sedangkan Tergugat kedudukannya di daerah hukum PTUN Semarang, maka gugatan dapat diajukan ke PTUN Makasar untuk selanjutnya diteruskan ke PTUN Semarang.
Hal ini karena untuk mengajukan gugatan di PTUN dibatasi waktu, sehingga agar tidak lewat waktu maka dipergunakan pengadilan perantara, hitungan waktunya adalah sejak Penggugat mendaftarkan perkara di pengadilan perantara yaitu PTUN Makasar.

4.      Dalam hal – hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.

5.      Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di Jakarta ;

6. Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat diluar negeri , gugatan diajukan kepada pengadilan ditempat kedudukan tergugat.

KETETAPAN TIDAK SAH


KETETAPAN TIDAH SAH
Oleh :
Edi Pranoto, SH.M.Hum
( Dosen Bagian HAN FH UNTAG Semarang )

Van Der Wel ( Utrecht, 1986 : 118 ) menyebutkan bahwa syarat sahnya ketetapan ( keputusan ) adalah :
a.    Syarat Materiil
Syarat materiil berkaitan dengan pembuat dan materi ketetapan, yaitu :
1.    Alat Negara yang membuat ketetapan harus berwenang. Ketidakwenangan alat Negara dalam membuat ketetapan bisa disebabkan karena ratione materie ( menyangkut materi ) ; ratione loci ( menyangkut tempat ) ; dan ratione temporis ( menyangkut waktu ) ;
2.    Dalam kehendak alat Negara yang membuat ketetapan tidak boleh ada kekurangan yuridis. Kondisi yang dapat menyebabkan kondisi kekurangan yuridis adalah karena salah kira ; paksaan ; tipuan ( dwang ; dwaling . bedrog );
3.    Ketetapan harus didasarkan  suatu keadaan ( situasi ) tertentu ;
4.    Ketetapan harus dapat dilakukan dan tanpa melanggar peraturan – peraturan yang lain, menurut isi dan tujuan sesuai dengan dengan peraturan lain yang menjadi dasar ketetapan itu.

b.    Syarat Formil
Syarat formil berkaitan dengan formalitas ( prosedur ), yang meliputi :
1.    Syarat- syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya ketetapan dan berhubungan dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi;
2.    Ketetapan harus diberi bentuk yang ditentukan ;
3.    Syarat- syarat yang ditentukan berhubungan dengan dilakukannya ketetapan harus dipenuhi ;
4.    Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal – hal yang menyebabkan dibuatnya ketetapan dan diumumkannya ketetapan itu tidak boleh dilewati.

Pemenuhan terhadap syarat- syarat dibuatnya ketetapan menjadi sangat penting agar ketetapan yang dibuat sah. Yang artinya pula tidak terpenuhinya syarat – syarat ketetapan diatas, akan menyebabkan suatu keketapan tidak sah ( nietrechtsgeldig ). Akibat hukum dari ketetapan  yang tidak sah adalah :
1.    Ketetapan batal karena hukum ( nietigheid van rechtswege );
Akibat hukumnya baik seluruh maupun sebagian bagi hukum dianggap tidak ada tanpa diperlukan adanya keputusan hakim atau keputusandari badan pemerintah lainnya. Dengan kata lain ketetapan tersebut dianggap tidak pernah ada.

2.    Ketetapan batal ( nietig/absolut nietig );
Artinya bahwa bagi hukum perbuatan yangdilakukan tidak ada. Jadi bagi hukum akibat perbuatan itu dianggap tidak pernah ada.

3.    Ketetapan dapat dibatalkan ( vernietigbaar )
Artinya bagi hukum perbuatan yang dilakukan dan akibat hukumnya dianggap ada sampai waktu pembatalan oleh hakim atau oleh suatu badan pemerintah lain yang berkompenten.