Sabtu, 13 April 2013

SENGKETA TUN PEMILU

SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU
Oleh :
Edi Pranoto, SH/M.Hum
( Dosen FH UNTAG Semarang/ Pengurus CosdeC Jateng )


A. Pengantar

Dalam kepustakaan Hukum Tata Negara dan hukum administrasi di Indonesia digunakan berbagai macam istilah bagi Peradilan Tata Usaha Negara antara lain Peradilan Administrasi, Peradilan Administrasi Negara, Peradilan Tata Usaha, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Usaha Pemerintahan.

Sebagai peradilan yang menguji sahnya keputusan pejabat admininistasi negara, maka Peradilan Tata Usaha Negara terus berkembang seiring dengan perkembangan. Berbagai macam perkembangan dalam kehidupan masyarakat yang mempengaruhi pelaksanaan mempengaruhi batas yang dikemukakan oleh kalangan ilmuwan hukum.

Pengadilan merupakan sub sumptie apparaat yaitu suatu badan yang menerapkan peraturan umum yang abstrak yang terdapat dalam Undang- undang pada kasus tertentu. Tujuan dari pada peradilan ialah memberikan keadilan kepada para pihak dan dengan demikian menyelesaikan sengketa, oleh karena sengketa merupakan sesuatu yang mengganggu ketentraman dan tata tertib serta kedamaian masyarakat yang dapat mengganggu keseimbangan dalam masyarakat.

Hadirnya peradilan, khususnya Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan mampu menghilangkan sengketa yang timbul di bidang Tata Usaha Negara dengan melihat tiga aspek hukum yaitu Keadilan hukum, kebenaran hukum, ketertiban dan kepastian hukum itu sendiri. Makna dari peradilan administrasi negara ialah menyelesaikan sengketa-sengketa antara seorang warganegara atau lebih dengan administrasi atau dengan kata lain pemerintah yang diselesaikan oleh suatu badan pemutus yang apabila badan pemutus itu merupakan suatu badan yang lepas dari ikatan dan pengaruh dari administrasi negara atau suatu badan yang berdiri sendiri (independen) dimana administrasi tidak termasuk di dalamnya.

Dalam arti yang lebih sederhana kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara mampu menegakkan Keadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum sehingga dapat memberikan pengayoman kepada masyarakat luas, terutama dalam hubungan antar badan atau pejabat Tata Usaha Negara dengan masyarakat. Keberadaan Peradilan Administrasi Negara merupakan salah satu syarat dari pilar negara hukum yang menjembatani persamaan dan perlakuan yang sama dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan terhadap masyarakat.


B. Obyek dan Subyek Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu

 
Banyaknya persoalan sengketa tata usaha negara dalam pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia, menjadi landasan sosiologis bagi pembuat undang- undang untuk mengatur sengketa tata usaha negara pemilihan umum secara khusus dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi ; DPRD  Kabupaten/ Kota.

Yang dimaksud dengan Sengketa tata usaha negara Pemilu menurut Pasal 268 ayat (1) adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Dari ayat ini dapat diketahui bahwa :

1.      Pihak yang menerima akibat dikeluarkannya keputusan
1.      calon anggota DPR,
2.      calon DPD,
3.      calon DPRD provinsi,
4.      calon DPRD kabupaten/kota atau
5.      Partai Politik calon Peserta Pemilu
2.      Pihak yang mengeluarkan keputusan
1.      KPU,
2.      KPU Provinsi, dan
3.      KPU Kabupaten/Kota

Selanjutnya di ayat (2) Pasal 268 tersebut juga dinyatakan bahwa Sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbul antara:
a.       KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan

b.      KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dan Pasal 75.
Dapat dinyatakan bahwa keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang dapat menjadi pangkal sengketa hanyalah apabila :
1.      Partai Politik dinyatakan tidak lolos verifikasi sebagai peserta pemilihan umum oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota ;
2.      Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dicoret dari daftar calon tetap oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota ;

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 khusus yang mengatur tentang sengketa tata usaha pemilu bila dikaitkan dengan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU 9 Tahun 2004 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara khususnya  Pasal 53 ayat ( 1 ) dinyatakan Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Menurut ketentuan Pasal ini jelas yang dapat menjadi pihak Penggugat hanyalah seseorang / badan hukum perdata saja, yang dalam sengketa tata usaha negera pemilihan umum ini adalah :

Penggugat / Pemohon
1.      calon anggota DPR,
2.      calon DPD,
3.      calon DPRD provinsi,
4.      calon DPRD kabupaten/kota atau
5.      Partai Politik calon Peserta Pemilu

Pihak lain selain yang tersebut diatas tidaklah dapat menjadi Penggugat dalam sengketa tata usaha negara pemilihan umum.

Selanjutnya yang menjadi pihak  Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata , maka yang mengeluarkan keputusan yang dapat menjadi pangkal  sengketa tata usaha pemilihan umum menuurut  Pasal 268 UU Nomor 8 Tahun 2012 adalah :

Tergugat / Termohon
1.      KPU,
2.      KPU Provinsi, dan
3.      KPU Kabupaten/Kota


Sedangkan ayat (2) Pasal 53 UU Nomor 9 Tahun 2004  diatur tentang alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a.       Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.      Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. ( vide : Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, bahwa di dalam negara hukum di dalam penyelenggaraan negara harus mengacu pada asas umum penyelenggaraan negara, yaitu: Asas Kepastian Hukum; Asas Kepentingan Umum; Asas Keterbukaan; Asas Proporsionalitas; Asas Profesionalitas; dan Asas Akuntabilitas. )

C. Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu

Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan :
1)      dalam suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif Sengketa tata usaha negara tertentu, maka Sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
2)      pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat {1} jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

Dalam penjelesan Pasal 48 diatas, upaya administrasi ( administratief beroop ) yang ada adalah meliputi : keberatan administrasi dan banding adminitrasi. Apabila upaya penyelesaian sengketa tata usaha negara hanya disediakan upaya administrasi yang keberatan administrasi maka , apabila masih belum pusa maka selanjutnya menempuh jalur pengadilan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) , karena proses penyelesaian sengketa keberatan administrasi tidak sama dengan proses penyelesaian sengketa di pengadilan tingkat pertama, sedangkan proses penyelesaian sengketa tata usaha negara dengan jalur banding adminitrasi maka apabila belum puas ,maka proses pencarian keadilannya selanjutnya langsung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara ( PT. TUN ), karena proses penyelesaian banding administrasi setingkat dengan proses penyelesaian sengketa pengadilan tingkat pertama ( PTUN).

Selanjutnya didalam pasal 269 UU Nomor 8 Tahun 2012 diatur tentang proses penyelesaian sengketa tata usaha negara pemilihan umum yaitu sebagai berikut :  
1.       Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ke pengadilan tinggi tata usaha negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) telah digunakan.
2.       Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah dikeluarkannya Keputusan Bawaslu.
3.       Dalam hal pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki dan melengkapi gugatan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya gugatan oleh pengadilan tinggi tata usaha negara.
4.       Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penggugat belum menyempurnakan gugatan, hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.\
5.       Pengadilan tinggi tata usaha negara memeriksa dan memutus gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan dinyatakan lengkap.
6.       Terhadap putusan pengadilan tinggi tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya dapat dilakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia
7.        Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan pengadilan tinggi tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
8.       Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib memberikan putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.
9.       Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) bersifat terakhir dan mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.
10.   KPU wajib menindaklanjuti putusan pengadilan tinggi tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
Konsekwensi dari Pasal 269 diatas maka :
1.      Bahwa Bawaslu adalah pintu pertama untuk proses penyelesaian sengketa tata usaha negara pemilihan umum , namun yang harus diwaspadai adalah tidak diaturnya batasan waktu untuk penyelesaian sengketa di Bawaslu ;
2.      Terhadap pihak ( Pemohon atau Termohon ) yang tidak menerima keputusan Bawaslu, maka kepadanya diberi kesempatan untuk mengajukan gugatan ke PT TUN. Dengan demikian kedudukan KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota adalah pihak yang memiliki kedudukan hukum yang saya dengan Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota, atau Partai Politik dalam proses upaya hukum apa yang dapat dilakukan ketika tidak menerima keputusan Bawaslu sebagaimana perintah Pasal 269 ayat (1) UU 8 Tahun 2012 tersebut diatas ;
3.      Apabila ternyata ada pihak yang tidak menempun upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 269 ayat (2) dengan sendiri kepada dianggap menerima keputusan Bawaslu dan wajib hukumnya melaksanakan Keputusan Bawaslu tersebut. Dan apabila tidak melaksanakannya maka ketentuan yang diatur dalam Pasal 116 UU Nomor 51 Tahun 2009 dapat diterapkan kepadanya.
4.      Sengketa tata usaha negara yang kemudian memakan waktu lebih dari 64 ( enampuluh ) hari kerja, memiliki potensi akan mengganggu tahapan pemilihan umum dari sisi penyelenggaraan, dan juga akan mengganggu hak- hak yang seharusnya dapat dilakukan oleh calon atau partai politik yang dirugikan oleh keputusan KPU dalam mengikuti setiap tahapan pemilihan umum, dan ini akan menimbulkan potensi persoalan dikemudian hari, apalagi untuk proses penyelesaian sengketa di Bawaslu tidak diatur tentang batas waktu untuk proses penyelesaian sengketa banding administrasi.
5.      Komisioner Bawaslu haruslah memiliki kemampuan untuk memproses dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara pemilihan umum, sehingga haruslah menentukan tatacara penyelesaian sengketa.

D. Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu

Pasal 270 menyatakan bahwa :

1.      Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa tata usaha negara Pemilu dibentuk majelis khusus yang terdiri dari hakim khusus yang merupakan hakim karier di lingkungan pengadilan tinggi tata usaha negara dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
2.      Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.
3.      Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hakim yang telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim minimal 3 (tiga) tahun, kecuali apabila dalam suatu pengadilan tidak terdapat hakim yang masa kerjanya telah mencapai 3 (tiga) tahun.
4.      Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama menangani sengketa tata usaha negara Pemilu dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain.
5.      Hakim khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menguasai pengetahuan tentang Pemilu.
6.      Ketentuan lebih lanjut mengenai hakim khusus diatur dengan peraturan Mahkamah Agung.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa proses penyelesaian sengketa di Bawaslu untuk penyelesaian sengketa tata usaha pemilihan umum adalah kewajiban yang harus ditempuh terlebih dahulu sebelum  mengajukan gugatan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Yang konsekwensi hukumnya apabila apa pihak yang tidak melaksanakan putusan Bawaslu atas penyelesaian sengketa tersebut, maka kepada dianggap menerima isi putusan tersebut, dan wajib melaksanakanya, dan apabila tidak melaksanakannya maka Pasal 116 UU Nomor 51 Tahun 2009 dapat diterapkan.