SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU
Oleh :
Edi Pranoto, SH/M.Hum
( Dosen FH
UNTAG Semarang/ Pengurus CosdeC Jateng )
A. Pengantar
Dalam
kepustakaan Hukum Tata Negara dan hukum administrasi di Indonesia digunakan
berbagai macam istilah bagi Peradilan Tata Usaha Negara antara lain
Peradilan Administrasi, Peradilan Administrasi Negara, Peradilan Tata Usaha, Peradilan
Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Usaha Pemerintahan.
Sebagai
peradilan yang menguji sahnya keputusan pejabat
admininistasi negara, maka Peradilan Tata Usaha Negara terus berkembang
seiring dengan perkembangan. Berbagai macam perkembangan dalam kehidupan
masyarakat yang mempengaruhi pelaksanaan mempengaruhi batas yang dikemukakan
oleh kalangan ilmuwan hukum.
Pengadilan
merupakan sub sumptie apparaat yaitu suatu badan yang menerapkan peraturan umum
yang abstrak yang terdapat dalam Undang- undang pada kasus tertentu. Tujuan dari pada peradilan ialah memberikan keadilan kepada para pihak dan dengan
demikian menyelesaikan sengketa, oleh karena sengketa merupakan sesuatu yang
mengganggu ketentraman dan tata tertib serta kedamaian masyarakat yang dapat
mengganggu keseimbangan dalam masyarakat.
Hadirnya
peradilan, khususnya Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan mampu menghilangkan
sengketa yang timbul di bidang Tata Usaha Negara dengan melihat tiga aspek
hukum yaitu Keadilan hukum, kebenaran hukum, ketertiban dan kepastian hukum itu
sendiri. Makna dari peradilan administrasi negara ialah menyelesaikan sengketa-sengketa
antara seorang warganegara atau lebih dengan administrasi atau dengan kata lain
pemerintah yang diselesaikan oleh suatu badan pemutus yang apabila badan
pemutus itu merupakan suatu badan yang lepas dari ikatan dan pengaruh dari
administrasi negara atau suatu badan yang berdiri sendiri (independen) dimana
administrasi tidak termasuk di dalamnya.
Dalam
arti yang lebih sederhana kehadiran Peradilan Tata Usaha Negara mampu menegakkan Keadilan,
kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum sehingga dapat memberikan pengayoman
kepada masyarakat luas, terutama dalam hubungan antar badan atau pejabat Tata
Usaha Negara dengan masyarakat. Keberadaan Peradilan Administrasi Negara
merupakan salah satu syarat dari pilar negara hukum yang menjembatani persamaan
dan perlakuan yang sama dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan terhadap
masyarakat.
B.
Obyek dan Subyek Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu
Banyaknya persoalan sengketa tata usaha negara dalam pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia, menjadi landasan sosiologis bagi pembuat undang- undang untuk mengatur sengketa tata usaha negara pemilihan umum secara khusus dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi ; DPRD Kabupaten/ Kota.
Yang dimaksud dengan Sengketa tata usaha negara
Pemilu menurut Pasal 268 ayat (1) adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU,
KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota. Dari ayat ini dapat diketahui bahwa :
1. Pihak yang menerima akibat
dikeluarkannya keputusan
|
1. calon anggota DPR,
2. calon DPD,
3. calon DPRD provinsi,
4. calon DPRD kabupaten/kota atau
5. Partai Politik calon Peserta
Pemilu
|
2. Pihak yang mengeluarkan
keputusan
|
1. KPU,
2. KPU Provinsi, dan
3. KPU Kabupaten/Kota
|
Selanjutnya di ayat (2) Pasal 268 tersebut juga
dinyatakan bahwa Sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang
timbul antara:
a. KPU dan Partai Politik calon
Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya
Keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17; dan
b. KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota dengan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD
kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 dan Pasal 75.
Dapat dinyatakan bahwa keputusan KPU, KPU Provinsi,
dan KPU Kabupaten/Kota yang dapat menjadi pangkal sengketa hanyalah apabila :
1. Partai Politik dinyatakan tidak
lolos verifikasi sebagai peserta pemilihan umum oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU
Kabupaten/Kota ;
2. Calon anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dicoret dari daftar calon tetap oleh KPU, KPU
Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota ;
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 khusus yang
mengatur tentang sengketa tata usaha pemilu bila dikaitkan dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU 9 Tahun 2004 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009
tentang Peradilan Tata Usaha Negara khususnya
Pasal 53 ayat ( 1 ) dinyatakan Orang atau badan hukum perdata
yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
direhabilitasi.
Menurut
ketentuan Pasal ini jelas yang dapat menjadi pihak Penggugat hanyalah seseorang
/ badan hukum perdata saja, yang dalam sengketa tata usaha negera pemilihan
umum ini adalah :
Penggugat / Pemohon
|
1. calon anggota DPR,
2. calon DPD,
3. calon DPRD provinsi,
4. calon DPRD kabupaten/kota atau
5. Partai Politik calon Peserta
Pemilu
|
Pihak lain selain yang tersebut diatas tidaklah
dapat menjadi Penggugat dalam sengketa tata usaha negara pemilihan umum.
Selanjutnya yang menjadi pihak Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya
atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata , maka
yang mengeluarkan keputusan yang dapat menjadi pangkal sengketa tata usaha pemilihan umum
menuurut Pasal 268 UU Nomor 8 Tahun 2012
adalah :
Tergugat / Termohon
|
1. KPU,
2. KPU Provinsi, dan
3. KPU Kabupaten/Kota
|
Sedangkan ayat (2) Pasal 53 UU Nomor 9 Tahun
2004 diatur tentang alasan-alasan
yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. ( vide :
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, bahwa di dalam negara
hukum di dalam penyelenggaraan negara harus mengacu pada asas umum
penyelenggaraan negara, yaitu: Asas Kepastian Hukum; Asas Kepentingan Umum;
Asas Keterbukaan; Asas Proporsionalitas; Asas Profesionalitas; dan Asas
Akuntabilitas. )
C.
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu
Pasal 48 UU Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan :
1)
dalam suatu badan atau pejabat tata
usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan secara administratif Sengketa tata usaha negara tertentu,
maka Sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia.
2)
pengadilan baru berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan Sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat {1} jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah
digunakan.
Dalam penjelesan Pasal 48 diatas,
upaya administrasi ( administratief
beroop ) yang ada adalah meliputi : keberatan
administrasi dan banding adminitrasi. Apabila upaya penyelesaian sengketa
tata usaha negara hanya disediakan upaya administrasi yang keberatan
administrasi maka , apabila masih belum pusa maka selanjutnya menempuh jalur
pengadilan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara ( PTUN ) , karena proses
penyelesaian sengketa keberatan administrasi tidak sama dengan proses
penyelesaian sengketa di pengadilan tingkat pertama, sedangkan proses
penyelesaian sengketa tata usaha negara dengan jalur banding adminitrasi maka
apabila belum puas ,maka proses pencarian keadilannya selanjutnya langsung ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara ( PT. TUN ), karena proses penyelesaian
banding administrasi setingkat dengan proses penyelesaian sengketa pengadilan
tingkat pertama ( PTUN).
Selanjutnya didalam pasal 269 UU Nomor 8 Tahun 2012 diatur tentang proses penyelesaian sengketa tata usaha negara pemilihan umum yaitu sebagai berikut :
1. Pengajuan gugatan atas sengketa
tata usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ke pengadilan
tinggi tata usaha negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif di
Bawaslu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) telah digunakan.
2. Pengajuan gugatan atas sengketa
tata usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling
lama 3 (tiga) hari kerja setelah dikeluarkannya Keputusan Bawaslu.
3. Dalam hal pengajuan gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang lengkap, penggugat dapat memperbaiki
dan melengkapi gugatan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya
gugatan oleh pengadilan tinggi tata usaha negara.
4. Apabila dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penggugat belum menyempurnakan gugatan,
hakim memberikan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.\
5. Pengadilan tinggi tata usaha
negara memeriksa dan memutus gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan dinyatakan lengkap.
6. Terhadap putusan pengadilan tinggi
tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) hanya dapat dilakukan
permohonan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia
7. Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan pengadilan tinggi tata
usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
8. Mahkamah Agung Republik Indonesia
wajib memberikan putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(7) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.
9. Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) bersifat terakhir dan mengikat
serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.
10. KPU wajib menindaklanjuti putusan
pengadilan tinggi tata usaha negara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) paling
lama 7 (tujuh) hari kerja.
Konsekwensi dari Pasal 269 diatas maka :
1. Bahwa Bawaslu adalah pintu pertama
untuk proses penyelesaian sengketa tata usaha negara pemilihan umum , namun
yang harus diwaspadai adalah tidak diaturnya batasan waktu untuk penyelesaian
sengketa di Bawaslu ;
2. Terhadap pihak ( Pemohon atau
Termohon ) yang tidak menerima keputusan Bawaslu, maka kepadanya diberi
kesempatan untuk mengajukan gugatan ke PT TUN. Dengan demikian kedudukan
KPU/KPU Provinsi/KPU Kabupaten/Kota adalah pihak yang memiliki kedudukan hukum
yang saya dengan Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota,
atau Partai Politik dalam proses upaya hukum apa yang dapat dilakukan ketika
tidak menerima keputusan Bawaslu sebagaimana perintah Pasal 269 ayat (1) UU 8
Tahun 2012 tersebut diatas ;
3. Apabila ternyata ada pihak yang
tidak menempun upaya hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 269 ayat (2) dengan
sendiri kepada dianggap menerima keputusan Bawaslu dan wajib hukumnya
melaksanakan Keputusan Bawaslu tersebut. Dan apabila tidak melaksanakannya maka
ketentuan yang diatur dalam Pasal 116 UU Nomor 51 Tahun 2009 dapat diterapkan
kepadanya.
4. Sengketa tata usaha negara yang
kemudian memakan waktu lebih dari 64 ( enampuluh ) hari kerja, memiliki potensi
akan mengganggu tahapan pemilihan umum dari sisi penyelenggaraan, dan juga akan
mengganggu hak- hak yang seharusnya dapat dilakukan oleh calon atau partai
politik yang dirugikan oleh keputusan KPU dalam mengikuti setiap tahapan
pemilihan umum, dan ini akan menimbulkan potensi persoalan dikemudian hari,
apalagi untuk proses penyelesaian sengketa di Bawaslu tidak diatur tentang
batas waktu untuk proses penyelesaian sengketa banding administrasi.
5. Komisioner Bawaslu haruslah
memiliki kemampuan untuk memproses dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara
pemilihan umum, sehingga haruslah menentukan tatacara penyelesaian sengketa.
D. Majelis Khusus Tata Usaha Negara Pemilu
Pasal 270 menyatakan bahwa :
1. Dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus sengketa tata usaha negara Pemilu dibentuk majelis khusus yang terdiri
dari hakim khusus yang merupakan hakim karier di lingkungan pengadilan tinggi
tata usaha negara dan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
2. Hakim khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
3. Hakim khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah hakim yang telah melaksanakan tugasnya sebagai hakim
minimal 3 (tiga) tahun, kecuali apabila dalam suatu pengadilan tidak terdapat
hakim yang masa kerjanya telah mencapai 3 (tiga) tahun.
4. Hakim khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) selama menangani sengketa tata usaha negara Pemilu dibebaskan
dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara lain.
5. Hakim khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus menguasai pengetahuan tentang Pemilu.
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai
hakim khusus diatur dengan peraturan Mahkamah Agung.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa proses penyelesaian sengketa di Bawaslu untuk
penyelesaian sengketa tata usaha pemilihan umum adalah kewajiban yang harus
ditempuh terlebih dahulu sebelum
mengajukan gugatan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Yang
konsekwensi hukumnya apabila apa pihak yang tidak melaksanakan putusan Bawaslu
atas penyelesaian sengketa tersebut, maka kepada dianggap menerima isi putusan
tersebut, dan wajib melaksanakanya, dan apabila tidak melaksanakannya maka
Pasal 116 UU Nomor 51 Tahun 2009 dapat diterapkan.